Keuntungan sedekah tidak dapat dihitung dengan rumus matematika konvensional. Yusuf Mansur memopulerkan istilah matematika sedekah. Mengacu kepada ajaran Islam bahwa sedekah satu akan dilipatkan menjadi sepuluh, Yusuf Mansur kemudian membuat rumus demikian: sepuluh ribu dikurangi seribu untuk sedekah, hasilnya adalah sembilan belas ribu. Jika dikurangi dua ribu untuk sedekah, hasilnya menjadi dua puluh delapan ribu. 

Itulah rumus matematika sedekah, yang merupakan perasan dari sejumlah keterangan dalam Alquran dan hadis. Allah sendiri berulang kali menegaskan bahwa sedekah tidak akan mengurangi harta. Dalam pandangan awam, harta memang berkurang ketika dipakai untuk sedekah. Tetapi, dalam kaca mata iman tidaklah demikian. 

“Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka pahalanya itu untuk kamu sendiri, dan janganlah kamu membelanjakan sesuatu melainkan karena mencari keridaan Allah, dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan, niscaya kamu akan diberi pahalanya dengan cukup, sedangkan kamu sedikit pun tidak akan dirugikan.” [QS Al-Baqarah/2: 272].

Perhatikan, ayat di atas menggarisbawahi “harta yang baik” dan “di jalan Allah”. Karena, sangat boleh jadi orang melakukan sedekah tetapi dengan harta yang tidak baik. Misalnya, membangun masjid dari praktik korupsi, mendirikan pesantren dari hasil pelacuran, membantu panti asuhan dari bisnis narkoba, dan seterusnya. Tidak sedikit pula orang yang mengeluarkan uang dalam jumlah besar hanya untuk menyukseskan perbuatan atau kegiatan yang tidak baik. Lihatlah para konglomerat yang rela merogoh kocek miliaran rupiah untuk menyelenggarakan pagelaran Miss World, kandidat pemimpin yang mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk membeli suara, tersangka hukum yang memberikan gratifikasi triliunan rupiah untuk menyuap hakim, dan seterusnya. 

Harta tidak baik yang digunakan di jalan Allah dan harta baik yang digunakan di jalan setan, keduanya tidak bernilai sedekah di mata Allah. Sedekah harus memenuhi dua kriteria, sebagaimana ditegaskan dalam ayat di atas, yaitu harta baik yang disalurkan di jalan Allah. Itulah harta yang tidak sia-sia, karena Allah akan memberikan ganti secara berlipat ganda.

Janji Allah tidak pernah dusta. Kewajiban orang beriman adalah meyakininya dengan segenap hati. Rasulullah sendiri pernah menginformasikan, “Tiada sehari pun sekalian hamba memasuki suatu pagi, kecuali ada dua malaikat yang turun. Salah satu dari keduanya berkata, ‘Ya Allah, berikanlah ganti kepada orang yang menafkahkan hartanya’. Sementara yang lain berkata, ‘Ya Allah, berikanlah kebinasaan kepada orang yang menahan hartanya’.” [HR Bukhari dan Muslim]. 

Mengelola harta memang bukan perkara mudah. Harta kerap mendatangkan keberuntungan, tetapi, jika salah menggunakan, harta justru menghasilkan kebuntungan. Karena itu, Islam memberikan panduan lengkap seputar cara mengelola harta agar kepemilikan harta berujung keberuntungan, bukan kebuntungan. Salah satunya adalah lewat ajaran sedekah. Harta yang disedekahkan, itulah harta yang sebenarnya, karena akan kekal sampai di alam baka. Yang berada di tangan tidak lain akan menjadi hak ahli waris.

Dalam sebuah riwayat, Rasulullah pernah bertanya, “Siapakah di antara kamu yang lebih menyukai harta ahli warisnya daripada hartanya sendiri?” Serentak para sahabat menjawab, “Ya Rasulullah, tiada seorang pun dari kami, melainkan hartanya adalah lebih dicintainya.” Beliau kemudian bersabda, “Sungguh harta sendiri ialah apa yang telah terdahulu digunakannya, sedangkan harta ahli warisnya adalah segala yang ditinggalkannya (setelah dia mati).” [HR Bukhari dan Muslim].

Hadis di atas, dengan demikian, secara tidak langsung mengingatkan bahwa harta yang ada di tangan kita sebenarnya hanya titipan Allah. Supaya manfaatnya masih dapat dirasakan sampai kita kembali ke akhirat, maka harta itu harus dinafkahkan di jalan kebaikan semasih hidup di dunia. Lebih membahagiakan, balasan Allah bahkan sering tidak harus menunggu di akhirat, tetapi langsung Dia tunaikan ketika kita masih hidup di dunia berupa rezeki yang melimpah.

Rezeki adalah segala pemberian Allah untuk memelihara kehidupan. Dalam hidup, ada dua jenis rezeki yang diberikan Allah kepada manusia, yaitu Rezeki Kasbi (bersifat usaha) dan Rezeki Wahbi (hadiah). Rezeki Kasbi diperoleh lewat usaha dan kerja. Tetapi Rezeki Wahbi datangnya di luar prediksi manusia, kadang malah tidak memerlukan jerih payah. Karena Rezeki Wahbi merupakan wujud sifat rahim Allah, maka orang yang gemar melakukan sedekah sangat berpeluang mendapatkan rezeki jenis terakhir ini. Indah Allah melukiskan dalam Alquran.

“Permisalan (nafkah yang dikeluarkan) orang-orang yang menafkahkan harta di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki, dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.” [QS Al-Baqarah/2: 261].

Sangat banyak ayat Alquran dan hadis Rasulullah yang mengungkap keuntungan sedekah. Setiap kita berpeluang mendapatkan keuntungan itu sepanjang gemar melakukan sedekah disertai keyakinan mantap terhadap kemurahan Allah. Tidak ada ceritanya kemiskinan karena sedekah. Tidak pula orang membuka pintu permintaan, melainkan Allah membuka untuknya pintu kemiskinan. 

Sebab itu, jangan lagi berusaha menotal keuntungan sedekah dengan rumus matematika seperti umumnya kita menotal hasil keuntungan perdagangan atau penjualan barang-barang kita. 
Email: hus_surya06@yahoo.co.id


Di Yaman, tinggalah seorang pemuda bernama Uwais Al Qarni yang berpenyakit sopak, tubuhnya belang-belang. Walaupun cacat, ia adalah pemuda yang soleh dan sangat berbakti kepadanya Ibunya. Ibunya adalah seorang wanita tua yang lumpuh. Uwais senantiasa merawat dan memenuhi semua permintaan Ibunya. Hanya satu permintaan yang sulit ia kabulkan.
"Anakku, mungkin Ibu tak lama lagi akan bersama dengan kamu, ikhtiarkan agar Ibu dapat mengerjakan haji," pinta Ibunya. Uwais tercenung, perjalanan ke Mekkah sangatlah jauh melewati padang pasir tandus yang panas. Orang-orang biasanya menggunakan unta dan membawa banyak perbekalan. Namun Uwais sangat miskin dan tak memiliki kendaraan.
Uwais terus berpikir mencari jalan keluar. Kemudian, dibelilah seeokar anak lembu, Kira-kira untuk apa anak lembu itu? Tidak mungkinkan pergi Haji naik lembu. Olala, ternyata Uwais membuatkan kandang di puncak bukit. Setiap pagi beliau bolak balik menggendong anak lembu itu naik turun bukit. "Uwais gila.. Uwais gila..." kata orang-orang. Yah, kelakuan Uwais memang sungguh aneh.
Tak pernah ada hari yang terlewatkan ia menggendong lembu naik turun bukit. Makin hari anak lembu itu makin besar, dan makin besar tenaga yang diperlukan Uwais. Tetapi karena latihan tiap hari, anak lembu yang membesar itu tak terasa lagi.
Setelah 8 bulan berlalu, sampailah musim Haji. Lembu Uwais telah mencapai 100 kg, begitu juga dengan otot Uwais yang makin membesar. Ia menjadi kuat mengangkat barang. Tahulah sekarang orang-orang apa maksud Uwais menggendong lembu setiap hari. Ternyata ia latihan untuk menggendong Ibunya.
Uwais menggendong ibunya berjalan kaki dari Yaman ke Mekkah! Subhanallah, alangkah besar cinta Uwais pada ibunya. Ia rela menempuh perjalanan jauh dan sulit, demi memenuhi keinginan ibunya.
Uwais berjalan tegap menggendong ibunya tawaf di Ka'bah. Ibunya terharu dan bercucuran air mata telah melihat Baitullah. Di hadapan Ka'bah, ibu dan anak itu berdoa. "Ya Allah, ampuni semua dosa ibu," kata Uwais. "Bagaimana dengan dosamu?" tanya ibunya heran. Uwais menjawab, "Dengan terampunnya dosa Ibu, maka Ibu akan masuk surga. Cukuplah ridho dari Ibu yang akan membawa aku ke surga."
Subhanallah, itulah keinganan Uwais yang tulus dan penuh cinta. Allah SWT pun memberikan karunianya, Uwais seketika itu juga disembuhkan dari penyakit sopaknya. Hanya tertinggal bulatan putih ditengkuknya. Tahukah kalian apa hikmah dari bulatan disisakan di tengkuk? itulah tanda untuk Umar bin Khattab dan Ali bin Abi Thalib, dua sahabat utama Rasulullah SAW untuk mengenali Uwais.
Beliau berdua sengaja mencari Uwais di sekitar Ka'bah karena Rasullah SAW berpesan "Di zaman kamu nanti akan lahir seorang manusia yang doanya sangat makbul. Kamu berdua pergilah cari dia. Dia akan datang dari arah Yaman, dia dibesarkan di Yaman. Dia akan muncul di zaman kamu, carilah dia. Kalau berjumpa dengan dia minta tolong dia berdua untuk kamu berdua."
"Sesungguhnya Allah mengharamkan atas kamu, durhaka pada ibu dan menolak kewajiban, dan meminta yang bukan haknya, dan membunuh anak hidup-hidup, dan Allah, membenci padamu banyak bicara, dan banyak bertanya demikian pula memboroskan harta (menghamburkan kekayaan)." (HR. Bukhari dan Muslim)
CERITA KEHIDUPAN UWAIS AL QORNI
Pemuda bernama Uwais Al-Qarni. Ia tinggal dinegeri Yaman. Uwais adalah seorang yang terkenal fakir, hidupnya sangat miskin. Uwais Al-Qarni adalah seorang anak yatim. Bapaknya sudah lama meninggal dunia. Ia hidup bersama ibunya yang telah tua lagi lumpuh. Bahkan, mata ibunya telah buta. Kecuali ibunya, Uwais tidak lagi mempunyai sanak family sama sekali.
Dalam kehidupannya sehari-hari, Uwais Al-Qarni bekerja mencari nafkah dengan menggembalakan domba-domba orang pada waktu siang hari. Upah yang diterimanya cukup buat nafkahnya dengan ibunya. Bila ada kelebihan, terkadang ia pergunakan untuk membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti dia dan ibunya. Demikianlah pekerjaan Uwais Al-Qarni setiap hari.
Uwais Al-Qarni terkenal sebagai seorang anak yang taat kepada ibunya dan juga taat beribadah. Uwais Al-Qarni seringkali melakukan puasa. Bila malam tiba, dia selalu berdoa, memohon petunjuk kepada Allah. Alangkah sedihnya hati Uwais Al-Qarni setiap melihat tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka telah bertemu dengan Nabi Muhammad, sedang ia sendiri belum pernah berjumpa dengan Rasulullah. Berita tentang Perang Uhud yang menyebabkan Nabi Muhammad mendapat cedera dan giginya patah karena dilempari batu oleh musuh-musuhnya, telah juga didengar oleh Uwais Al-Qarni. Segera Uwais mengetok giginya dengan batu hingga patah. Hal ini dilakukannya sebagai ungkapan rasa cintanya kepada Nabi Muhammmad saw, sekalipun ia belum pernah bertemu dengan beliau. Hari demi hari berlalu, dan kerinduan Uwais untuk menemui Nabi saw semakin dalam. Hatinya selalu bertanya-tanya, kapankah ia dapat bertemu Nabi Muhammad saw dan memandang wajah beliau dari dekat? Ia rindu mendengar suara Nabi saw, kerinduan karena iman.
Tapi bukankah ia mempunyai seorang ibu yang telah tua renta dan buta, lagi pula lumpuh? Bagaimana mungkin ia tega meninggalkannya dalam keadaan yang demikian? Hatinya selalu gelisah. Siang dan malam pikirannya diliputi perasaan rindu memandang wajah nabi Muhammad saw.
Akhirnya, kerinduan kepada Nabi saw yang selama ini dipendamnya tak dapat ditahannya lagi. Pada suatu hari ia datang mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinyadan mohon ijin kepada ibunya agar ia diperkenankan pergi menemui Rasulullah di Madinah. Ibu Uwais Al-Qarni walaupun telah uzur, merasa terharu dengan ketika mendengar permohonan anaknya. Ia memaklumi perasaan Uwais Al-Qarni seraya berkata, “pergilah wahai Uwais, anakku! Temuilah Nabi di rumahnya. Dan bila telah berjumpa dengan Nabi, segeralah engkau kembali pulang.”
Betapa gembiranya hati Uwais Al-Qarni mendengar ucapan ibunya itu. Segera ia berkemas untuk berangkat. Namun, ia tak lupa menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkannya, serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama ia pergi. Sesudah berpamitan sembari mencium ibunya, berangkatlah Uwais Al-Qarni menuju Madinah.
Uwais Ai-Qarni Pergi ke Madinah
Setelah menempuh perjalanan jauh, akhirnya Uwais Al-Qarni sampai juga dikota madinah. Segera ia mencari rumah nabi Muhammad saw. Setelah ia menemukan rumah Nabi, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam, keluarlah seseorang seraya membalas salamnya. Segera saja Uwais Al-Qarni menanyakan Nabi saw yang ingin dijumpainya. Namun ternyata Nabi tidak berada dirumahnya, beliau sedang berada di medan pertempuran. Uwais Al-Qarni hanya dapat bertemu dengan Siti Aisyah ra, istri Nabi saw. Betapa kecewanya hati Uwais. Dari jauh ia datang untuk berjumpa langsung dengan Nabi saw, tetapi Nabi saw tidak dapat dijumpainya.
Dalam hati Uwais Al-Qarni bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi saw dari medan perang. Tapi kapankah Nabi pulang? Sedangkan masih terngiang di telinganya pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman, “engkau harus lekas pulang”.
Akhirnya, karena ketaatannya kepada ibunya, pesan ibunya mengalahkan suara hati dan kemauannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi saw. Karena hal itu tidak mungkin, Uwais Al-Qarni dengan terpaksa pamit kepada Siti Aisyah ra untuk segera pulang kembali ke Yaman, dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi saw. Setelah itu, Uwais Al-Qarni pun segera berangkat mengayunkan langkahnya dengan perasaan amat haru.
Peperangan telah usai dan Nabi saw pulang menuju Madinah. Sesampainya di rumah, Nabi saw menanyakan kepada Siti Aisyah ra tentang orang yang mencarinya. Nabi mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni anak yang taat kepada ibunya, adalah penghuni langit. Mendengar perkataan Nabi saw, Siti Aisyah ra dan para sahabat tertegun. Menurut keterangan Siti Aisyah ra, memang benar ada yang mencari Nabi saw dan segera pulang kembali ke Yaman, karena ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama. Nabi Muhammad saw melanjutkan keterangannya tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit itu, kepada para sahabatnya., “Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia, perhatikanlah ia mempunyai tanda putih ditengah talapak tangannya.”
Sesudah itu Nabi saw memandang kepada Ali ra dan Umar ra seraya berkata, “suatu ketika apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit, bukan orang bumi.”
Waktu terus berganti, dan Nabi saw kemudian wafat. Kekhalifahan Abu Bakar pun telah digantikan pula oleh Umar bin Khatab. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi saw tentang Uwais Al-Qarni, penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kembali sabda Nabi saw itu kepada sahabat Ali bin Abi Thalib ra. Sejak saat itu setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, Khalifah Umar ra dan Ali ra selalu menanyakan tentang Uwais Al Qarni, si fakir yang tak punya apa-apa itu, yang kerjanya hanya menggembalakan domba dan unta setiap hari? Mengapa khalifah Umar ra dan sahabat Nabi, Ali ra, selalu menanyakan dia?
Rombongan kalifah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kalifah itu pun tiba di kota Madinah. Melihat ada rombongan kalifah yang baru datang dari Yaman, segera khalifah Umar ra dan Ali ra mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais Al-Qarni turut bersama mereka. Rombongan kafilah itu mengatakan bahwa Uwais Al-Qarni ada bersama mereka, dia sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawaban itu, khalifah Umar ra dan Ali ra segera pergi menjumpai Uwais Al-Qarni.
Sesampainya di kemah tempat Uwais berada, khalifah Umar ra dan Ali ra memberi salam. Tapi rupanya Uwais sedang shalat. Setelah mengakhiri shalatnya dengan salam, Uwais menjawab salam khalifah Umar ra dan Ali ra sambil mendekati kedua sahabat Nabi saw ini dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar ra dengan segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada di telapak tangan Uwais, seperti yang pernah dikatakan oleh Nabi saw. Memang benar! Tampaklah tanda putih di telapak tangan Uwais Al-Qarni.
Wajah Uwais Al-Qarni tampak bercahaya. Benarlah seperti sabda Nabi saw bahwa dia itu adalah penghuni langit. Khalifah Umar ra dan Ali ra menanyakan namanya, dan dijawab, “Abdullah.” Mendengar jawaban Uwais, mereka tertawa dan mengatakan, “Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?” Uwais kemudian berkata, “Nama saya Uwais Al-Qarni”.
Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais Al-Qarni telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, ia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali ra memohon agar Uwais membacakan do'a dan istighfar untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada Khalifah, “saya lah yang harus meminta do'a pada kalian.”
Mendengar perkataan Uwais, khalifah berkata, “Kami datang kesini untuk mohon doa dan istighfar dari anda.” Seperti yang dikatakan Rasulullah sebelum wafatnya. Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais Al-Qarni akhirnya mengangkat tangan, berdoa dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar ra berjanji untuk menyumbangkan uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais untuk jaminan hidupnya. Segera saja Uwais menampik dengan berkata, “Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.”
Fenomena Ketika Uwais Al-Qarni Wafat
Beberapa tahun kemudian, Uwais Al-Qarni berpulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan, tiba-tiba sudah banyak orang yang berebutan untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafani, di sana pun sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafaninya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburannya, disana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke pekuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.
Meninggalnya Uwais Al-Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat mengherankan. Sedemikian banyaknya orang yang tak kenal berdatangan untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais Al-Qarni adalah seorang fakir yang tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampai ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, disitu selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu.
Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka saling bertanya-tanya, “siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais Al-Qarni? bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir, yang tak memiliki apa-apa, yang kerjanya sehari-hari hanyalah sebagai penggembala domba dan unta? Tapi, ketika hari wafatmu, engkau menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamanmu.”
Berita meninggalnya Uwais Al-Qarni dan keanehan-keanehan yang terjadi ketika wafatnya telah tersebar ke mana-mana. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya, siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni. Selama ini tidak ada orang yang mengetahui siapa sebenarnya Uwais Al-Qarni disebabkan permintaan Uwais Al-Qarni sendiri kepada Khalifah Umar ra dan Ali ra, agar merahasiakan tentang dia. Barulah di hari wafatnya mereka mendengar sebagaimana yang telah disabdakan oleh Nabi saw, bahwa Uwais Al-Qarni adalah penghuni langit.
Subhanallah


Sebanyak 60 anak dari keluarga kurang mampu mengikuti acara khitanan ceria di RSUD Bagas Waras, Klaten Selatan, Minggu (27/12). Acara yang diselenggarakan Dompet Sejuta Harapan (DSH) Kabupaten Klaten dan RSUD Bagas Waras itu untuk mengisi waktu libur siswa.
Ketua DSH Amin Mustofa mengatakan kegiatan khitan gratis itu melibatkan 19 orang tenaga medis yang dipimpin dokter Andrian.”Kegiatan itu diharapkan dapat membantu masyarakat kurang mampu dalam mengkhitankan anaknya,”katanya, Minggu(27/12).
Kegiatan itu menurut Amin  rencananya akan dilanjutkan setiap tahun dengan dukungan para donatur dan semua elemen masyarakat. Khitan selain bermanfaat dari sisi kesehatan juga menjadi bagian dari syiar. Waktu libur dipilih sebab siswa memiliki waktu luang untuk ikut sampai sembuh.
(Achmad Hussain/ CN40/ SM Network/SuaraMerdeka)




Oktober 2013 sewaktu terjadi banjir di Madinah, makam 70 orang keluarga Perang Uhud ikut dilanda banjir. Setelah banjir surut, jenasah para sahabat-pun akhirnya terlihat keluar dalam keadaan masih utuh karena mereka dikuburkan di kawasan padang pasir, darahnya masih mengalir harum.
Jenasah para sahabat dimakamkan kembali seperti semula tapi tidak lagi diberi nama-nama jenasah tersebut  kecuali jenasah Hamzah ra karena diketahui dari luka didadanya, badannya tinggi besar. Jenasahnya masih berdarah dan harum. Bahkan tangannya masih memegang lukanya akibat terkena tombak, yang masih keluar darah. Walaupun sudah beberapa ribu tahun.
Dan yang satu lagi adalah Abdullah bin Jaz ra karena diketahui dari telinga dan hidungnya yang terpotong akibat diikat benang. Kedua orang inilah yang sekarang nisannya ada di Uhud. Jadi kalau sekarang kita berziarah ke Gunung Uhud, hanya ada 2 nisan saja.
Berikut adalah sebagian isi dari kaset pembicaraan Dr Thariq As-Suwaidan tentang peristiwa tersebut. “Syaikh Mahmud Ash-Shawaf telah menyampaikan kepada kami bahwa dia adalah salah seorang yang diundang dari kalangan ulama besar untuk pemakaman semula para sahabat yang gugur syahid di perang Uhud di kompleks makam syuhada Uhud yaitu sebuah kawasan pemakaman yang terkenal.
Sebuah “Kesaksian” Dr Thariq As-Suwaidan dalam kasetnya yang amat berharga “Qisshatun Nihayah” yang dinukil secara langsung dari Syaikh Mahmud Ash-Shawaf menyebutkan peristiwa besar yang dialami oleh sebagian ulama saat penguburan kembali jenasah sahabat yang gugur syahid di perang Uhud. Setelah 1400 tahun jenasah para sahabat tetap utuh, ini sebagai bukti nyata atas berita gembira tentang para syuhada.
Para ulama memang diundang saat pemakaman kembali jenasah para sahabat itu ”Di antara orang yang aku kuburkan adalah Hamzah RA, badannya besar, kedua telinga dan hidungnya terpotong, perutnya terbelah, dia meletakkan tangannya di atas perutnya.
Ketika kami menggerakkannya dan mengangkat tangannya, darahnya mengalir. Aku menguburkannya bersama sahabat-sahabat lainnya yang gugur syahid di Uhud.” Dr Thariq As-suwaidan berkata, ”Ini adalah perkara yang terbukti secara mutawatir dan dengan mata kepala. Semoga Alloh SWT menyampaikan kita semua ke derajat para syuhada.
Syaikh Mahmud telah menyampaikan kepada kami tentang aroma harum misk yang berasal darinya ketika darah mengalir dari jasad Hamzah RA.” Subhanallah, setelah 1400 tahun lebih, betapa agungnya Engkau ya Alloh. Alangkah besarnya kekuasaan-Mu, Maha suci Engkau.
Betapa utamanya, betapa mulianya, Alloh memberikannya kepada para syuhada. Jika seperti itu kemuliaan jasadnya yang terpendam di perut bumi yang tak seorangpun melihatnya, lalu bagaimanakah dengan kemuliannya di surga yang luasnya seluas langit dan bumi.
Selamat bagi yang telah melihat sahabat mulia ini, Hamzah bin Abdul Mutthalib ra. Jasad Syuhada Yang Tidak Mengalami Pembusukkan Jabir bin Abdillah bercerita, ”Menjelang perang Uhud, ayahku memanggilku pada malam hari. Ia berkata: ’Aku merasa akan menjadi orang yang paling pertama gugur di antara para sahabat Nabi Saw.
Sungguh aku tidak meninggalkan sesuatupun yang lebih kusayangi selain engkau, disamping Nabi Muhammad Saw. Sesungguhnya aku memiliki hutang, maka lunasilah. Dan bersikap baiklah kepada saudara-saudara perempuanmu.’ Keesokan harinya, ia pun menjadi orang yang pertama gugur.
Ia dimakamkan bersama orang yang lain dalam satu lubang kubur. Tetapi hatiku merasa kurang nyaman membiarkan ayahku satu lubang kubur bersama orang lain. Enam bulan kemudian, aku membongkar makamnya dan mengeluarkannya, jasadnya masih tetap utuh sama seperti pertama kali aku menguburkannya.” (Hadits Riwayat Bukhari, Fathul Bari, 3/214 )
Petikan hadits di atas membuktikan di mana ayah Jabir ra terbunuh dalam perang Uhud dan ketika enam bulan kemudian makamnya dibongkar, maka jasadnya tetap utuh. Enam bulan adalah waktu yang lama di mana tubuh mayat seharusnya sudah hancur.
Penelitian membuktikan bahwa 24-36 jam pertama mayat dikuburkan, maka bola mata mulai menonjol dan kornea menghitam. Cabang-cabang urat nadi mulai terlihat di perut dan dada. 2-5 hari berikutnya, wajah dan seluruh tubuh menggelembung, dari tubuh mayat keluar bau busuk. Setelah melewati 5-10 hari, kulit mulai rapuh dan tubuh ditutupi larva.
Organ-organ tubuh meleleh ke tanah dan mulai menyisakan tulang saja. (dinukil dari buku Ushuluth Thibbisy Syar’i, Dr. Muhammad Ahmad Sulaiman)
CATATAN – Dalam buku sejarah bencana banjir pertama kali terjadi pada tahun 46 Hijrah atau 667 Masehi atau 43 tahun setelah Perang Uhud yang ceritanya mirip, yaitu jasad jasad mereka mengapung.


Hari ini UIN terasa sumpek, hari kamis. Seperti biasa, banyak sekali seminar dan kegiatan mahasiswa. Stan-stan ramai bergeletak di parkir Student Centre. Dari mulai menawarkan kegiatan pengisi jiwa seperti training mahasiswa, jualan bunga lengkap dengan potnya demi menyambut penghijauan, sampai bazar-bazar buku yang harganya turun abis.

Ica coba mampir. Dengan serius, ia membolak-balik buku Abul Ala al Maududi edisi lama.

Semenit berlalu, gantian ia sambangi temannya yang menjaga stan, Dela namanya. Dela kebagian menjaga stan TOEFL yang diselenggarakan UKM Bahasa Flat. Ia terlibat pembicaraan serius. Dari kejauhan, terlihat Dela berusaha menahan tawa, ia tutup bibir kecilnya dengan tangan. Senyum menyeringai menyiratkan ada sesuatu kelucuan mendera.

***

Sementara itu di Fakultas, Leni dan Riri berusaha mengejar lift. “Wait…wait..”

“Ih Si Leni buru-buru amat,“ sergah Rangga.

“Eh gua mau ngomong sama lo.”

“Ngomong apa Len.”

“Gawat… ini gawat,”

“Ih Si Leni gawat apanya?” Tanya Rangga, senior kampus yang terkenal alim.

Leni menceritakan panjang lebar kejadian yang membuatnya curiga bahwa Ica mulai berani bermesraan dengan seorang pria. Baginya, perbuatan Ica itu mencoreng nama baik fakultas. Ia tidak mau wibawa kampus dirusak oleh Ica. Apa jadinya kata dunia ada mahasiswi alim di perguruan tinggi Islam yang kumpul kebo. Lagipula apa jadinya mahasiswi yang populis sebagai “artis peradaban” tidak tahan terhadap belaian pria.

Rangga didera shock theraphy. Jantungnya bedegup atas cerita Leni. Ia tidak menyangka, atas tingkah gila Ica tersebut. Leni benar-benar berhasil menyihir Rangga.

***

Lift sampai lantai 5, seorang mahasiswa masuk. Wajahnya bersih, tampan, dan berpenampilan rapih. Sontak ia berhadapan dengan Leni yang tepat berdiri di depan lift. Leni bergeser.



Matanya mulai nakal, ia perhatikan sesekali sang mahasiswa. Dalam hati Leni berkata “Masya Allah cucok juga nih cowok”.

Di sisi lain, isu percintaan Ica sudah menyebar ke seantero kampus. Dari mulai semester satu, tiga, lima, tujuh, dan sembilan. Bahkan beberapa dosen kebagian infonya. Ini semata-mata karena Ica memang bak seleb di kampus. Jadilah informasi cinta Ica pasti laku bak kacang goreng.

Sementara itu, beberapa orang masih penasaran. Mereka mencoba mengklarifikasi ini Ica, namun HP Ica tidak aktif. Kosnya pun terkunci rapat dengan dua gembok. Di pintunya tertulis: tak melayani pertanyaan wartawan!

****

Hari ini Forum Studi Dakwah (Forsid) digelar. Para peserta tumplek ruah mengisi Ruang 5.01 di lantai 5. Pembicara belum juga kelihatan batang hidungnya. Namun entah kenapa Leni punya rencana lain, ia datang ke Forsid untuk memberi bukti skandal. Ia siapkan rekaman itu, apalagi diskusi Forsid kerap memakai infocus. So, Leni bertekad menyiapkan kejutan.

Akan tetapi Leni agak kesal, Ica ternyata tidak hadir dalam forum ini. Beberapa teman-teman juga kecewa Ica tidak datang. Padahal kedatangan Ica begitu dinanti untuk menjelaskan lelucon dari perbuatannya selama ini.

Di kursi belakang, bukannya serius untuk mendengarkan diskusi, tapi Leni malah sibuk memikirkan situasi Kak Ica berada saat ini. Ketika melamun, pembicara datang dengan mengenakan jas coklat muda. Materi kali ini tentang Psikologi Dakwah Rasulullah.

Ketika pembicara duduk di depan, sontak Leni tidak mengira, “Oh my God ini kan cowok yang tadi satu lift”.

Leni betul-betul tidak bisa menahan pandangannya. Ia tatap lekat-lekat wajah pria tampan itu: sejuk, ramah senyum, rapih, dan bersih. “Ah beruntung sekali wanita yang dipinangnya,” gumam Leni dalam hati.

Ia menelan ludah, ada gurat cinta di hatinya. Yup cinta pada pandangan pertama. Apalagi saat menjelaskan, tutur bahasa si pemateri enak didengar. Ah, Leni benar-benar terbuai.

So, untuk melampiaskan kesukaanya, Leni sengaja mencari perhatian dengan bertanya banyak hal!

Kecamuk di hatinya semakin membuncah kala si pemateri menjawabnya pertanyaannya dengan detail. Leni berpikir dua kali untuk mengumbar skandal Ica, bisa hancur wibawanya bila dilihat sang pembicara.

Namun sesekali hatinya juga berontak. Ia berpikir, bukankah ini justru menjadi “dakwah” untuk memberi tahu atau tepatnya memberi pelajaran pada Ica bahwa caranya salah berhubungan dengan seorang pria. Sekalipun Ica adalah sosok mahasiswi teladan baginya. Jika tidak diumbar sekarang, malah akan menjadi boomerang baginya, bahwa ia adalah tukang gosip, penyebar berita palsu, tukang fitnah.

“Bisa hancur reputasiku,” gumamnya.

Ketika gelaran Forsid selesai dan pembicara izin pamit, Leni menahan teman-temannya untuk tetap duduk di tempat.

“Harap jangan ada yang keluar dari ruangan ini,” desaknya.

Ia siapkan infocus. Leni kemudian berdiri di podium, sekedar menjelaskan apa yang akan dilihat teman-temannya nanti, murni sebagai rasa cintanya pada Ica sebagai sesama teman dan sahabat perjuangan.

Tak suka dengan gaya Leni yang terlalu banyak berkata, para mahasiswa gantian menyibir Leni, “Ya sudah kamu tunjukkan kalau kamu memang tidak menyebar berita bohong, karena tidak mungkin seorang Ica melakukan perbuatan nista itu,” sergah Rangga.

“Betul kata Rangga, istighfar Leni, apa yang kamu katakan akan dicatat oleh Allah,” umbar yang lain.

Suasana menjadi tegang, Leni tidak sendirian ada teman-teman lainnya yang akan mem-backup.
“Saya sepakat sama Leni, lebih baik kita buktikan saja siapa yang benar dan siapa yang salah, ini kan buat kebaikan jurusan kita juga. Kita akan menarik pelajaran dari ini semua, bahwa kadang tampilan bisa menipu. Ingat kawan!!” Bela Riri, teman detektif Leni.

“Astaghfirullah, apa maksud kamu Riri?” tanya yang lain.

“Iya saya juga satu suara sama Riri, kita berbicara fakta nanatinya, bukan memandang karena Ica adalah bidadari di kampus kita, teman kesayangan kita semua,” seloroh mahasiswa lainnya.

“Sudah.. sudah… langsung saja Leni kamu putar,” perintah Rangga.

Leni tanpa panjang kata mulai memasukkan CD ke Laptop. Dan gambar yang diceritakkan Leni benar-benar menjadi kenyataan.

“Sini aku yang bawa sayang”

“Ah tidak usah, aku aja yang bawa, kamu langsung aja balik, gak enak nanti dilihat banyak orang”

“Ya sudah malam minggu, kamu ada di kos kan? Kita ngapel ya?”

“Iya dong say,” belay Ica pada pipi sang cowok berkulit sawo mentah.

“Hmm kita nonton apa ya?”

“Gading-gading Dakwah saja”

“Oke deh..” ucap pasang cowok sambil memakai jaket hitam.

Semua orang terperangah, “Masya Allah,” ucap Rangga.

“Astaghfirullah,” Ketus yang lain.

“Ahhh”

“Ini gila,” kata Riri.

“Imposibble,” ucap Novi.

Leni mulai buka suara di rerimbun gelengan kepala teman-teman. Rangga hanya menunduk malu. Novi menangis, ternyata Ica yang rajin dakwah.. Ah begitu memalukan. Yang lain pun serupa.

“Jelas kan sekarang,” kata Leni dengan suara lantang.

Riri merasa puas. Dia lega kerja kerasnya bareng Leni membuahkan hasil.

“Ini mesti diproses!” keluh Novi kesal.

“Iya ini sudah memalukan kita semua. Kita sudah jatuh. Hanya karena seorang pria, tega sekali Kak Ica menyakiti kita semua. Ia yang tiap hari bicara aturan yang seharusnya antara pria dan wanita ternyata adalah pembohong, munafik. Hhh aku sudah curiga, tidak mungkin seorang wanita menahan rasa cintanya pada pria yang dicintainya. Persetan dengan simpan dalam hati,” seruput Leni.

“Afwan, ikhwan yang itu pacar saya!!” suara Ica dari balik tembok, begitu keras menghujam keheningan.

Semua mata terperangah ke arah Ica.

“Siapa yang bilang akhwat gak boleh pacaran?” tantang Ica

Novi yang satu aktivis dakwah dengan Ica menggelengkan kepala, dan hanya bisa berkata, “Kau sudah berubah Ukh, siapa pria itu? Apa maksud kamu?”

“Iya itu pacar aku Nov,” jawab Ica dengan senyum lebar.

Rangga terlihat bingung. Leni tidak paham.

“Ikhwan yang jadi pembicara tadi itu pacar saya lho.”

“Hehehe betul, aku jadi saksi kok jadian mereka. Wong lagi nembaknya, Dela yang mengantar ikhwannya,” ucap Dela yang tiba-tiba muncul.

“Mana cowoknya itu?” Kurang ajar betul dia,” gertak Novi.

“Ini lho pacarnya kak Ica, kebetulan ini kakak Dela juga,” Dela menarik sang ikhwan yang kembali masuk ke ruangan.

“Pacaran setelah nikah itu asyik lho. Aku gak takut lagi deket-deket sama si mas. Ini cincin nikah kita. Sebelumnya saya minta maaf karena belum sempat memberi tahu teman-teman. Saya tidak mau mengganggu aktivitas kita sekalian yang sebentar lagi UAS dan tengah sibuk karena penyelenggaraan penerimaan mahasiswa baru, nah makanya sekarang setelah semuanya kelar, kita mau mengundang teman-teman sekalian. Ini undangannya, bagus kan?”

Novi langsung memeluk Ica sambil sesenggukan meneteskan air mata “Maafkan aku teman sejatiku, aku sudah suudzon padamu, kau yang sangat kubangga sebagai mahasiswa berprestasi di BKI. Ah subhanallah ternyata kamu sudah menikah Ca, Allah begitu menyangimu wahai wanita yang baik budinya. Kamu kemana selama ini Ca, kami semua mencemaskanmu?”

“Afwan Nov, aku sedang honeymoon, gak bisa diganggu. Ini baru pulang dari Gunung Sindur, biasa pengantin baru ada aja maunya.”

“Ih resek,” cubit Novi di pipi Ica.

“Makanya cepat nikah dong, Si Aa mau dikemanain teh?” gantian Ica yang menyubit pipi Novi.

“Si Aa siapa?” Novi balik menginjak kaki Ica.

“Aa Aa A… Ada dehhh,” canda Ica yang membuat Novi memunculkan senyuman manisnya.

Rangga lega, walau sedikit menyesal karena telat melamar. Akan tetapi, sebagai pria berpikiran dewasa, ia ikhlas karena Allah pasti memberi yang terbaik jika hambanya bertakwa. Begitulah Islam mengajarkan. Semua orang kini menyami Ica dan sang pacar.

Lalu bagaimana nasib Leni? Dengkulnya langsung lemas. Ia tergeletak pingsan karena shock. Sang pujaan ternyata sudah sah menjadi milik Ica. Keburukan dibalas kebaikan, sekarang giliran Ica yang sibuk mengurusi Leni agar cepat siuman. (selesai)
Diberdayakan oleh Blogger.